Gejolak di area tambang Bougainville terus berlanjut

Seorang wanita berdiri di lahan tambang tembaga, Panguna. /RNZI

Seorang wanita berdiri di lahan tambang tembaga, Panguna. /RNZI

Bougainville, Jubi – Gejolak di area tambang tembaga Panguna, Bougainville terus berlanjut. Jumat akhir pekan lalu, puluhan penduduk asli mencegat rombongan delegasi pemerintah yang tengah dalam perjalanan menuju lokasi penandatanganan kesepakatan (MoU) pembukaan kembali tambang tembaga Panguna.

Pemerintah menyebut bahwa penandatanganan MoU tersebut sedianya akan dilakukan oleh pemerintah dan para pemilik lahan tambang Panguna. Namun, warga yang mencegat rombongan berkata lain. Mereka bersikukuh bahwa pembukaan kembali lahan tambang tembaga Panguna akan merusak alam dan lingkungan sekitar mereka tinggal.

Para pemrotes itu mayoritas terdiri dari wanita. Selain karena alasan lingkungan, mereka menolak pembukaan kembali lahan tambang Panguna sebelum pelaksanaan referendum kemerdekaan Bougainville dari Papua Nugini tahun 2019.

Wakil Presiden Provinsi Bougainville, Raymond Masono mengatakan bahwa para pemrotes itu tidak mewakili suara mayoritas pemilik lahan Panguna. Ia lalu memberikan waktu selama dua minggu kepada para pemrotes untuk menghentikan aksinya.

Menurut Masono, pembukaan kembali tambang Panguna ini sangat penting bagi provinsi tersebut dalam rangka persiapan referendum tahun 2019. Jika Bougainville merdeka, maka Bougainville juga harus mempersiapkan sumber daya ekonominya sendiri secara mandiri.

Masono mengaku, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menjelaskan kepada para pemrotes tentang pentingnya pembukaan kembali lahan tambang Panguna bagi kemajuan ekonomi daerah tersebut. Ia yakin, tertundanya penandatanganan MoU itu hanya akan berlangsung sementara.

“Ketika mereka sudah siap, mereka akan datang ke pemerintah otonom Bougainville (ABG) dan lalu kami akan persiapkan upacara penandatanganan MoU,” ujar Masono.

 

Menolak Bougainville Copper Ltd

Selain menolak pembukaan kembali tambang Panguna, para pemrotes juga menolak kehadiran perusahaan Bougainville Copper Ltd dalam pengoperasian tambang Panguna berikutnya. Isi protes ini serupa dengan protes yang terjadi pada awal Mei lalu ketika sekelompok pemilik lahan menyampaikan petisi pada pemerintah otonom Bougainville dan pemerintah pusat terkait penolakan Bougainville Copper Ltd.

Pengaju petisi itu menghimpun diri dalam Asosiasi Pemilik Lahan Osikiang. Melalui petisi, mereka ingin mempertegas posisi mereka terhadap rencana pemberian izin penambangan di wilayah itu. Hal ini juga sebagai respons terhadap pernyataan pemerintah yang menyatakan bahwa Bougainville Copper Ltd akan kembali dengan pemberi dukungan yang berbeda.

Pemerintah Provinsi Bougainville kini adalah pemilik saham terbesar di Bougainville Copper Ltd setelah perusahaan multinasional Rio Tinto Tarik diri dari Papua Nugini dan memberikan kepemilikan sahamnya kepada pemerintah Papua Nugini dan pemerintah Bougainville.

Ketua Osikiang, Philip Miriori menyatakan mereka tidak akan pernah menerima saham Bougainville Copper Ltd karena itu berarti akan melanjutkan aktivitas pertambangan dan mengakibatkan kerusakan alam.

Di balik sikapnya yang terkesan keras seperti itu, kelompok Osikiang ternyata juga tidak sepenuhnya menentang pertambangan. Mereka telah membangun hubungan dengan konglomerat tambang berbasis di Australia, RTG Mining untuk membangun Central Me’ekamuni Exploration Ltd.

Bersama-sama, mereka mengajukan proposal dengan jaminan 50 persen saham bagi masyarakat Bougainville. Selain itu, mereka berkomitmen merehabilitasi lingkungan hingga bisa berproduksi penuh pada tahun 2026.

Izin pertambangan di lahan tambang Panguna, Bougainville telah lama bagai bara dalam sekam. Isu kerusakan lingkungan dan pembagian jatah saham serta konflik antara penduduk pribumi dengan kepolisian serta perusahaan tambang kerap terjadi.

Meski bukan satu-satunya pemicu, namun persoalan tambang ini menyumbang masalah besar untuk kondisi keamanan di Bougainville. Tanah ini hampir 20 tahun lamanya dilanda peperangan sipil. Keadaan agak mereda setelah pemerintah pusat berkomitmen melaksanakan referendum kemerdekaan pada tahun 2019.

Akhir April lalu, ratusan tentara revolusioner dan gerilyawan Bougainville (BRA) turun dari tempat persembunyiannya untuk menghadiri upacara penandantanganan kesepakatan gencanan senjata yang berlangsung di Arawa, Bougainville. Gencatan senjata ini sekaligus menghentikan pertikaian bersenjata yang berujung pada perang sipil selama 10 tahun terakhir dan diklaim telah merenggut 10.000 nyawa di tanah yang kaya akan sumber daya alam itu.

Ketua Departemen Implementasi Kesepakatan Damai Bougainville, James Tanis mengatakan bahwa dengan disepakatinya referendum kemerdekaan tahun 2019 nanti telah membuat kedua kelompok menjadi bersatu dalam damai.

“Karena satu hal yang membuat seluruh orang Bougainville bisa jalan bersama, yaitu adanya referendum yang akan memutuskan masa depan status politik Bougainville,” ujarnya.

Setelah meredanya isu keamanan di Bougainville, semua pihak tengah fokus pada persiapan referendum, termasuk para wanita yang memprotes pembukaan kembali lahan tambang di Panguna. Mereka hanya minta agar pemerintah menaati moratorium pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi tambang di Panguna hingga referendum tiba. **

Posted in: Papua New Guinea

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.